Wanita Istimewa

by - April 21, 2017

Pagi ini, saya menemukan hal menarik pada homepage Google. Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, mereka memasang Google Doodle berupa slide show gambar sejumlah wanita dengan anak perempuan mereka. Google Doodle tersebut menginspirasi saya untuk menulis tentang seorang wanita hebat yang menemani selama dua puluh tiga tahun saya hidup, seorang yang selalu berarti 'rumah' tempat memulangkan segala cerita, ialah Ibu.


Pict-source
Bagi setiap anak, Ibu mungkin adalah panutan mereka atau pahlawan mereka, begitu pula bagi saya. Ibu saya hebat, setidaknya dalam sudut pandang saya. Bukan karena beliau adalah menteri, bupati, penyanyi besar, atau semacamnya, tapi Ibu saya hebat in the way she handle her life. Saya lebih menyadari fakta itu akhir-akhir ini, mungkin seiring bertambah luas wawasan, cara berpikir, dan emosi saya. Ya, dulu ketika saya masih kecil Ibu sering menasehati tentang hal-hal yang mungkin nggak logis bagi saya waktu itu, dan selalu yang dikatakan Ibu setelah memberi penjelasan panjang tapi saya tak kunjung paham adalah "sesuk nek wis gede lak ngerti." Pada saatnya, saya mulai paham...sedikit demi sedikit seiring bertambah dewasa. Sorry Mom, it's little bit late :')

Saya kagum pada Ibu dalam hal cara beliau membesarkan kedua anaknya, saya dan adik. Kami berdua tumbuh dengan merasakan sepenuh kasih sayang beliau, tak pernah kurang. Beliau selalu berusaha memenuhi kebutuhan kami tanpa keluhan. Tokoh favorit saya, Kate Middleton, bersama Prince William dan Prince Harry selama ini sering menyuarakan kesehatan mental salah satunya malalui kampanye "Place2Be" yang mengajak dan membiarkan anak-anak mengungkapkan apa yang dialaminya, apa yang mengganggu pikirannya, permasalahan yang dihadapi, dsb. Biar apa? Biar sebagai anak punya teman bicara, biar ada rasa lega setelah mengungkapkan perasaan kita, biar nggak depresi karena memendam masalah. Itulah yang dibiasakan Ibu saya pada saya dan adik saya, sejak kami kecil. Kami selalu terbuka menceritakan apa saja yang terjadi di sekolah, bagaimana pelajaran kami, siapa saja guru-guru dan teman kami, bahkan hingga orang-orang yang kami sukai hehehe. Tak hanya saya, tapi juga adik saya. Mungkin di luar rumah adik tidak terlalu banyak bicara, tapi di rumah dia bercerita banyak hal dan Ibu selalu menyempatkan mendengar cerita kami, menanggapi, memberikan kritik, dan memberi masukan. Saya rasa itu bagus untuk kami, ada komunikasi yang baik antara orangtua dan anak.

Ibu saya bekerja sebagai PNS. Ketika masih TK, saya memang kadang iri melihat kawan yang bisa langsung bertemu Ibunya sepulang sekolah. Sementara saya akan diurus mbak yang merawat saya waktu itu lalu menunggu bus plat merah Pemda lewat, karena...bus itulah yang akan mengantar Ibu saya pulang. Sebagai wanita yang bekerja Ibu saya tak lantas melupakan keluarganya. Ibu tetap menyempatkan mengupaskan buah untuk saya sepulang dari kantor, sambil ngobrol dengan saya kecil. Ibu saya masih sempat mengajar ngaji dan membaca, mewarnai, atau menyanyi setiap selepas maghrib. Jadi, kalau ada yang bilang "Wanita kok kerja? Nggak sayang sama keluarga?" saya sedih mengetahui masih ada yang mikir demikian. Tidak semua wanita yang bekerja melupakan keluarganya, kadang mereka bekerja justru demi keluarganya.

Ketika anak-anaknya sudah mulai tumbuh besar, sudah bisa mengurus dirinya sendiri, Ibu mulai aktif di kampung. Beliau mengajak ibu-ibu di kampung untuk terlibat dalam berbagai kegiatan, terutama para Ibu muda. Perubahan ini begitu terasa, karena kampung kami sebelumnya cenderung 'anteng' tanpa ada aktivitas. Sekarang, kampung kami punya grup rebana ibu-ibu, punya grup senam ibu-ibu, punya bank sampah yang dikelola ibu-ibu, termasuk acara rutin yasinan ibu-ibu. Mungkin memang suatu hal yang sederhana, tapi saya bisa melihat bahwa ibu-ibu muda ini bersemangat mengikuti aktivitas tersebut. Kalau mau ada pengajian-pengajian di kampung, mau besuk orang sakit, mau takziah, kondangan dan sebagainya...itu bikin saya sering di rumah sendiri karena ibu sibuk mengurus ini-itu. Saya pernah bilang, "Perasaan dulu Ibuk nggak sesibuk ini." Lalu Ibuk saya menanggapi, "Dulu kan anak Ibuk masih kecil-kecil, masih repot. Sekarang kan udah pada bisa ngurus diri sendiri." Hmmm...apa yang dilakukan Ibu saya ini juga jadi contoh bagi saya dan adik untuk menyikapi kehidupan bermasyarakat. Ibuk saya selalu menekankan bahwa "srawung" itu perlu, bergaul dengan tetangga itu perlu. Apalagi, kami tinggal di perkampungan.

Ketika dihadapkan pada masalah pribadi, Ibu adalah sosok yang tegar, mungkin demi anak-anaknya. Ibu jarang terlihat menangis di depan kami, Ibu juga tidak suka mengeluh, setelah banyak kejadian tidak menyenangkan yang dialami beliau. Ketika suatu ketika Ibu diberi cobaan penyakit yang cukup keras, beliau bersabar dan nggak patah semangat, bahkan berani 'mengambil risiko' untuk kesembuhannya. Ibu saya memang bukan orang yang sempurna, tapi perjuangan beliau untuk saya dan adik saya adalah suatu hal yang sangat istimewa. Bagi saya, Ibu saya ini kuat, tak hanya dalam menghadapi masalah pribadinya tapi juga dalam menghadapi anak-anaknya. Bagi saya dan adik saya, Ibu-lah yang senantiasa encouraging dan empowering kami sehingga kami dapat tumbuh seperti sekarang. Terimakasih, Buk.

Itulah sedikit cerita tentang Ibu saya, wanita yang selalu hebat dalam benak saya, perjuangannya untuk anak-anaknya. Every mother has her own struggles. So, if maybe they do the different way with your Mom, don't ever underestimate whoever she is...as a mother. I think, being a mother is not an easy thing.
Mungkin ibu teman-teman punya kisah tersendiri, bukan? Apapun itu, salam untuk ibu kalian, wanita yang melahirkanmu dan mungkin berperan besar dalam hidupmu! Semoga sehat selalu...atau mungkin, semoga tenang di sisi-Nya :)



Ditulis mulai 8 Maret 2017 (International Women's Day), tapi belum selesai.
Baru diselesaikan hari ini,
Yogyakarta, 21 April 2017
Selamat Hari Kartini :)

You May Also Like

0 comments